Sunday, July 4, 2021

Komunikasi Terapeutik


Pengertian Komunikasi Terapeutik
Komunikasi adalah suatu pertukaran pikiran, perasaan, pendapat dan pemberian nasehat yang terjadi antara dua orang atau lebih. Komunikasi juga merupakan suatu seni untuk dapat menyusun dan menghantarkan suatu pesan dengan cara yang gampang, sehingga orang lain dapat mengerti dan menerima (Suari dan Bakhtiar, 2010).
Komunikasi terapeutik ialah suatu interaksi interpersonal antara perawat dan klien ,yang selama interaksi berlangsung ,perawat berfokus pada keputusan khusus klien,untuk meningkatkan pertukaraan informasiyang efektif antara perawat dan klien .Keterampilan dalam menggunakan teknik komunikasi terapeutik membantu perawat  memahami dan berempaati terhadap pengalaman klien (Vibebeck dan Sheila, 2008).
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan atau dirancang untuk tujuan terapi. Seorang perawat dapat membantu klien mengatasi masalah yang dihadapinya melalui komunikasi, karena melalui komunikasi terapeutik perawat bisa membantu klien beradaptasi terhadap stres, mengatasi gangguan psikologis dan belajar bagaimana berhubungan dengan orang lain (Suryani, 2006).
2.1.2        Tujuan Komunikasi Therapeutik
Menurut Suryani (2006) komunikasi terapeutik bertujuan untuk mengembangkan pribadi pasien kearah yang lebih positif atau adaptif dan diarahkan pada pertumbuhan pasien yang meliputi  :
a.       Relisasi diri, penerimaan diri dan peningkatan penghormatan diri. Melalui komunikasi therapeutik diharapkan terjadi perubahan pada diri klien, yang tadinya tidak bisa menerima diri apa adanya atau merasa rendah diri, setelah berkomunikasi terapeutik dengan perawat akan mampu menerima dirinya.
b.      Kemampuan membina hubungan interpersonal yang tidak superfisial dan saling bergantung dengan orang lain.melalui komunikasi terapeutik klien belajar bagaimana menerima dan diterima orang lain. Melalui komunikasi yang terbuka, jujur dan menerima klien apa adanya perawat akan membina hubungan saling percaya.
c.       Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan yang realistis. Kadang klien menetapkan idela diri atau tujuan yang terlalu tinggi tanpa mengukur kemampuannya.
d.      Rasa identitas personal yang jelas dan peningkatan integritas diri, termasuk didalamnya status, peran dan jenis kelamin.
2.1.3        Model Komunikasi Terapeutik
Terdapat beberapa model yang dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana orang berkomunikasi. Model komunikasi tersebut antara lain :
a.       Komunikasi secara langsung / verbal
Tujuan komunikasi verbal adalah memberikan kesempatan bagi individu
untuk mengekspresikan perasaannya secara langsung, jujur dan dengan cara yang sesuai tanpa menyinggung perasaan lawan bicara.
b.      Komunikasi non verbal
Yaitu komunikasi dengan menggunakan ekspresi wajah, gerakan tubuh
dan sikap tubuh. Komunikasi ini meliputi komponen emosi terhadap pesan yang diterima atau disampaikan. Terdapat beberapa kunci dalam komunikasi non verbal, yaitu :
1)      Lingkungan, tempat dimana komunikasi dilaksanakan
2)      Penampilan, pemakaian pakaian, kosmetik dan sesuatu yang menarik
3)      Kontak mata, bermakna kesediaan seseorang untuk berkomunikasi
4)      Postur tubuh dan gerakan, bobot suatu pesan bisa ditingkatkan dengan orang yang menunjukkan telujuknya, berdiri atau duduk
5)      Ekspresi wajah, komunikasi yang efektif memerlukan respons wajah yang setuju terhadap pesan yang disampaikan (Kuntoro, 2010)
2.1.4        Karakteristik Perawat yang Memfasilitasi Terjadinya Hubungan Terapeutik
Ada beberapa karakteristik perawat yang dapat memfasilitasi tumbuhnya hubungan yang terapeutik, antara lain :
a.       Kejujuran
Tanpa adanya kejujuran mustahil bisa terbina hubungan saling percaya. Seseorang akan menaruh kepercayaan pada lawan bicara yang terbuka dan mempunyai respon yang tidak dibuat-buat. Sikap yang tidak jujur dari perawat bisa menyebabkan klien menarik diri, merasa dibohongi, membenci perawat atau bisa juga berpura-pura patuh. Misalnya perawat harus menerangkan dengan jujur dan jelas mengapa klien harus berpuasa sehari sebelum dilakukan suatu prosedur, atau perawat harus menjawab jujur ketika klien menanyakan tentang perkembangan penyakitnya.

b.      Tidak membingungkan dan cukup ekspresif
Perawat sebaiknya menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti oleh klien dan tidak berlebit-belit. Ketidak sesuaian verbal dan non verbal perawat dapat menimbulkan kebingungan bagi klien. Misalnya ketika perawat mengatakan mengerti dengan perasaatn klien, maka perawat harus menatap mata klien dengan tatapan penuh pengertian, dan badan sedikit membungkuk ke arah klien.
c.       Bersikap positif
Sikap ini sangat penting dalam membuna hubungan saling percaya maupun dalam membuat rencana tindakan bersama klien. Sikap ini ditunjukkan dengan sikap yang hangat, penuh perhatian dan penghargaan pada klien. Untuk itu, perlu adanya penciptaan suasana yang dapat membuat klien merasa aman dan diterima dalam mengungkapkan perasaan dan pikirannya. Sikap negatif terhadap klien seperti meremehkan, berbicara sambil melakukan tindakan lain atau menilai sikap klien. Rusaknya hubungan terapeutik bisa menghambat tujuan yang ingin dicapai.
d.      Empati bukan simpati
Dengan sikap ini perawat akan mampu merasakan dan memikirkan permasalahan klien seperti yang dirasakan dan dipikirkan klien, sehingga mampu memberikan alternatif pemecahan masalah bagi klien. Sedangkan perawat yang berskap simpati tidak mampu melihat permasalahan secara objektif karena dia terlibat secara emosional terhadap permasalahan yang dihadapi klien.
e.       Mampu melihat permasalahan dari kaca mata klien
Perawat harus mampu melihat permasalahan dari sudut pandang klien, sehingga perawat dituntut untuk memiliki kemampuan active listening dan kesabaran dalam mendengarkan semua ungkapan klien. Jika perawat menyimpulkan permasalan klien berdasarkan pengalaman yang dialaminya dan memberikan saran yang tergesa-gesa, maka bisa berakibat fatal seperti tidak bisa memecahkan masalah klien atau klien merasa tidak puas karena keputusan yang diambil bukan keputusannya sendiri.
f.       Menerima klien apa adanya
Seorang perawat yang baik tidak akan memandang hina pada klien dan keluarganya. Menilai klien berdasarkan nilai-nilai yang diyakini perawat menunjukkan bahwa perawat tidak menerima klien apa adanya, seperti perkataan “kok gitu aja nanigs” atau “masak kamu gitu sih”.
g.      Sensitif terhadap perasaan klien
Jika saat berkomunikasi, perawat tidak sensitif terhadap perasaan klien, bisa saja perawat menyinggung perasaan klien. Misalnya, karena tertarik dengan permasalahan perselingkungan suami klien, perawat dengan tergesa-gesa bertanya tentang perselingkungan tersebut dengan mengabaikan privacy klien, padahal baru berkenalan dengan klien.
h.      Tidak mudah terpengaruh oleh amsa lalu klien ataupun diri perawat sendiri
Seseorang yang selalu menyesali tentang apa yang telah terjadi pada masa
lalu tidak akan mampu berbuat yang terbaik di hari ini. Perawat harus mampu membimbing klien untuk melupakan kejadian yang menyakitkan di masa lalu dan menguatkan koping klien dalam menghadapi masalah yang dihadapi saat ini (Suryani, 2006).
Dalam melakukan teknik berkomunikasi terapeutik, terdapat 3 keterampilan yang diperlukan untuk membina hubungan terapeutik antara perawat dan klien, yaitu :
a.       Kehadiran atau keberadaan perawat.
Kehadiran berarti kebersamaan fisik dan psikologis dalam berkomunikasi. Kehadiran fisik antara lain mencakup mendengarkan dan mengamati, serta memberikan perhatian terhadap ucapan dan perilaku klien. Kehadiran psikologis yaitu mendengarkan secara aktif dengan telinga, pikiran dan perasaan, kata-kata yang diucapkan klien dan perilaku non verbal. Perawsat mengikuti apa yang dibicarakan klien dan memperhatikan klien serta memberi tanggapan dengan tepat.
b.      Perilaku  non verbal
Perilaku non verbal tersebut antaralah lain :
1)        Aktifitas fisik, meliputi gerakan tubuh, ekspresi wajah, sikap atau postur tbuh, kontak mada dan gerakan serta sentuhan
2)        Vokalis, meliputi bahasa yang digunakan dengan pengaturan tekanan suara atau nada bicara dan kecepatan bicara
3)        Jarak antar pembicara 45 – 120 cm, sehingga memungkinkan kontak mata dan sentuhan
c.       Keterampilan memberi respons
Digunakan untuk menyampaikan pengertian kepada klien, memberikan
umpan balik, dan memperjelas pemahaman perawat tentang pembicaraan dan perilaku klien. Kemampuan tersebut meliputi :
1)      Empati, yaitu merasakan apa yang diapami klien
2)      Kesetiaan, yaitu bersikap terbuka, jujur dan tulus
3)      Kesiapan diri, yaitu oeka atau mau menyediakan diri untuk membantu kline
4)      Bersikap objektif dan konkret, berdasarkan kenyataan
5)      Menerima klien, dengan menghargai, menghormati dan memperhatikannya
6)      Bersikap asertif, yaitu dapat mengemukakan ketidaksesuaian pendapat tanpa menyinggung perasaan, menyakiti hati atau merugikan orang lain (Suarli dan Bahtiar, 2010).
2.1.5        Tahapan Komunikasi Terapeutik
a.       Tahap persiapan
Pada tahap ini perawat menggali perasan dan mengidentifikasi kelebihan dan kekurangannya. Perawat juga mencari informasi tentang klien, kemudian merancang strategi untuk pertemuan pertama dengan klien. Tugas perawat pada tahap ini antara lain :
1)      Mengeksplorasi perasaan, harapan dan kecemasan klien
2)      Menganalisis kekuatan dan kelemahan diri, agar perawat mampu mengatasi kelemahannya dan menggunakan kekuatannya secara maksimal.
3)      Mengumpulkan data tentang klien
4)      Merencanakan pertemuan pertama dengan klien
b.      Tahap perkenalan
Dengan memperkenalkan dirinya berarti perawat telah bersikap terbuka
pada klien dan akan mendorong klien untuk membuka dirinya. Tahap ini dilakukan pada setiap awal pertemuan. Kegagalan pada tahap orientasi akan menimbulkan kegagalan pada keseluruhan interaksi. Tugas perawat pada tahap ini antara lain :
1)      Membina rasa saling percaya, menunjukkan penerimaan dan komunikasi terbuka
2)      Merumuskan kontrak bersama klien, antara lain tempat, waktu pertemuan dan topik pembicaraan
3)      Menggali pkiran dan perasaan serta identifikasi amsalah klien
4)      Merumuskan tujuan dengan tujuan
c.       Tahap kerja
Perawat dan klien bekerja bersama-sama untuk mengatasi masalah yang dihadapi klien. Pada tahap ini dituntut kemampuan perawat dalam mendorong klien mengungkapkan perasaan dan pikiranya, perawat juga dituntut untuk peka dan memiliki analisis tinggi terhadap perubahan respon verbal maupun non verbal klien. Teknik komunikasi terapeutik yang sering digunakan pada tahap ini antara lain eksplorasi, reflekssi, berbagi persepsi, memfokuskan dan menyimpulkan. Pada tahap ini diharapkan perawat mampu menyimpulkan percakapan dengan klien, untuk membantu klien menggali hal-hal dan tema emosional yang penting.
d.      Tahap terminasi
Terminasi sementara adalah akhir dari tiap pertemuan perawat klien,
sedangkan terminasi akhir terjadi jika perawat telah menyelesaikan proses keperawatan secara keseluruhan. Tugas perawat pada tahap ini antara lain :
1)      Mengevaluasi pencapaian tujuan dari interaksi yang telah dilaksanakan, perawat tidak boleh terkesan menguji kemampuan klien, akan tetapi sebaiknya terkesan sekedar mengulang atau menyimpulkan.
2)      Melakukan evaluasi subjektif, untuk menanyakan perasaan klien setelah berinteraksi dengan perawat
3)      Menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan. Tindak lanjut yang diberikan harus relevan dengan interaksi yang baru saja dilakukan atau interaksi yang akan dilakukan berikutnya.
4)      Membuat kontrak untuk pertemuan berikutnya (Suryani, 2006).
2.1.6        Hambatan Dalam Berkomunikasi
Hambatan yang terjadi dalam berkomunikasi antara perawat dan klien dapat teratasi apabila perawat mengetahui beberapa ucapan yang perlu dihindari dalam kondisi seperti di bawah ini :
a.       Memberi nasehat atau memberi tahu cara pemecahan masalah keperawatan yang menunjukkan seakan-akan klien tidak mampu melakukan sendiri
b.      Berupaya untuk menentramkan hati, dimana perawat memberikan informasi tidak berdasarkan fakta tetapi lebih bertujuan untuk memberikan perasaan senang.
c.       Mengalihkan pembicaraan mengenai hal-hal yang mengancam kepada hal-hal yang kurang mengancam
d.      Membuat penlaian terhadap perilaku klien berdasarkan sistem nilai yang dianut perawat
e.       Menunjukkan perilaku yang berfokus pada diri perawat
f.       Memberikan pengarahan atau petunjuk yang harus diikuti dengan mengabaikan kemampuan klien, dan menganggap klien tidak mampu mengatasi masalahnya.
g.      Mengajukan pertanyaan yang berlebihan tanpa memperhatikan perasaan klien
h.      Memberikan komentar klise dengan kata-kata secara spontan tanpa tujuan yang jelas (Suarli dan Bahtiar, 2010).
2.1.7        Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Terapeutik
Menurut Suarli dan Bachtiar (2010), ada dua factor yang mempengaruhi kinerja yaitu motivasi dan lingkungan.
a.       Motivasi
Fungsi manajer dalam meningkatkan kinerja staf didasarkan pada factor-faktor motivasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi meliputi:
1)      Keinginan akan adanya peningkatan
2)      Rasa percaya bahwa gaji yang didapatkan sudah mencukupi
3)      Memiliki kemampuan pengetahuan, keterampilan dan nilia-nilai  yang diperlukan
4)      Adanya umpan balik
5)      Adanya kesempatan untuk mencoba pendekatan baru dalam melakukan pekerjaan
6)      Adanya instrument kinerja untuk promosi, kerja sama dan peningkatan penghasilan
Kebutuhan seseorang untuk mencapai prestasi merupakan kunci dalam motivasi. Motivasi seseorang akan timbul apabila mereka diberi kesempatan untuk mencoba cara baru dan mendapat umpan balik dari hasil yang diberikan.
b.      Faktor lingkungan
Faktor lingkungan juga memegang peran penting dalam kinerja seseorang. Faktor lingkungan tersebut meliputi komunikasi, potensi pengembangan, dan kebijakan individual. Faktor lingkungan tersebut meliputi :
1)      Komunikasi, berupa penghargaan terhadap usaha yang e dilakukan, pengetahuan tentang kegiatan organisasi dan rasa percaya diri berhubungan dengan manajemen organisasi
2)      Potensi pengembangan. Kesempatan untuk berkembang, meningkatkan karier dan mendapatkan promosi, dukungan untuk tumbuh dan berkembang seperti pelatihan
3)      Kebijakan individual, yaitu tindakan untuk mengakomodasi kebutuhan individu seperti jadwal kerja, liburan, cuti sakit, serta pembiayaan
2.1.8        Teknik Komunikasi Terapeutik
Dalam menanggapi respon yang disampaikan klien, perawat dapat menggunakan berbagai teknik komunikasi terapeutik sebagai berikut :
1.      Bertanya, dapat mendorong pasien untuk mengungkapkan perasaan dan pikirannya
2.      Mendengarkan, merupakan proses aktif dan penerimaan informasi serta penelaahan reaksi seseorang terhadap pesan yang diterima
3.      Mengulang, yaitu mengulang kembali pikiran utama yang telah diekspresikan oleh pasien. Hal ini menunjukkan bahwa perawat sedang mendengarkan dan memvalidasi, menguatkan dan mengembalikan perhatian klien pada sesuatu yang telah diucapkan
4.      Klarifikasi, yaitu menjelaskan kembali ide atau pikiran klien yang tidak jelas atau meminta klien untuk menjelaskan arti ungkapannya
5.      Refleksi, yaitu mengarahkan kembali ide, perasaan, pertanyaan dan isi pembicaraan kepada klien, dengan tujuan untuk memvalidasi pengertian perawat tentang apa yang diucapkan klien dan menekankan empati, minat dan penghargaan terhadap klien.
6.      Memfokuskan, bertujuan memberi kesempatan kepada klien untuk menambah masalah inti dan mengarahkan komunikasi klien pada pencapaian tujuan
7.      Diam, digunakan untuk memberikan kesempatan pada klien sebelum menjawab pertanyaan perawat
8.      Memberi informasi, merupakan tindakan penyuluhan kesehatan untuk klien
9.      Menyimpulkan, adalah teknik komunikasi yang membantu klien mengeksplorasi poin penting dari interaksi perawat-klien
10.  Mengubah cara pandang, untuk memberikan cara pandang lain sehingga klien tidak melihat seseuatu atau masalah dari aspek negatifnya saja
11.  Eksplorasi, untuk mencari atau menggali lebih jauh atau lebih dalam masalah yang dialami klien
12.  Membagi persepsi, yaitu meminta pendapat klien tentang hal yang perawat rasakan atau pikirkan
13.  Mengidentifikasi tema, perawat harus tanggap terhadap cerita yang disampaikan klien dan mampu menangkap tema dari seluruh pembicaraan tersebut
14.  Humor, dapat meningkatkan kesadaran mental dan kreativitas, serta menurunkan tekanan darah dan nadi
15.  Memberi pujian, merupakan keuntungan psikologis yang didapatkan klien ketika berinteraksi dengan perawat, untuk meningkatkan harga diri dan menguatkan perilaku klien (Suryani, 2006).
Perawat seringkali mengembangkan komunikasi yang berorientasi pada tugas, bukan berfokus pada klien. Konsekuensinya perawat membatasi klien untuk mengungkapkan perasaan dan masalahnya. Karena itu, perawat perlu memahami teknik komunikasi yang tepat dalam berkomunikasi dengan klien. Disamping itu, perawat juga perlu mempelajari teknik komunikasi yang kurang tepat agar tidak menggunakannya ketika berkomunikasi dengan pasien. Teknik komunikasi yang kurang tepat tersebut adalah :
a.       Memberi jaminan, walaupun tujuannya untuk menenangkan. Hal ini bisa menimbulkan ketidak percayaan pasien, jika apa yang dikatakan perawat tersebut tidak benar.
b.      Memberikan penilaian, karena dapat mengakibatkan pasien merasa bahwa perawat mengabaikan perasaan pasien atau merendahkan dirinya
c.       Memberikan komentar klise  / itu-itu saja/ terlalu umum, karena bisa menyebabkan klien bosan atau ragu apakah perawat benar-benar mendukung apa yang telah dilakukannya
d.      Memberi saran, apabila saran tidak mampu mengatasi masalah maka klien akan menyalahkan perawat
e.       Mengubah pokok pembicaraan, konsekuensinya perawat gagal menggali masalah klien yang sebenarnya, sehingga masalah pasien tidak teratasi
f.       Defensif, karena sebetulnya perawat sedang menutupu kekurangan atau kelemahannya. Respon defensive juga menunjukkan bahwa perawat kurang peduli dengan kebutuhan pasien (Suryani, 2006).

Friday, March 22, 2019

Asuhan Keperawatan Isolasi Sosial (ISOS)



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perkembangan kebudayaan masyarakat banyak membawa perubahan dalam segi kehidupan manusia. Setiap perubahan situasi kehidupan individu baik positif maupun negatif dapat mempengaruhi keseimbangan fisik, mental dan sosial atau status kesehatan seseorang sejalan dengan perkembangan teknologi dapat dikatakan makin banyak masalah yang harus dihadapi dan diatasi seseorang serta sulit tercapainya kesejahteraan hidup. Keadaan ini sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan jiwa seseorang yang berarti akan meningkatkan jumlah pasien gangguan jiwa (Muhith, 2015).
Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika seseorang tersebut merasa sehat dan bahagia, mampu menghadapi tantangan hidup serta dapat menerima orang lain sebagaimana seharusnya serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Kondisi perkembangan yang tidak sesuai pada individu disebut gangguan jiwa (UU No.18 tahun 2014).
Gangguan jiwa merupakan sindrom atau pola psikologis atau pola perilaku yang penting secara klinis, yang terjadi pada individu dan sindrom ini dapat dihubungkan dengan adanya distress seperti nyeri atau disabilitas (ketidakmampuan pada salah satu bagian) serta peningkatan resiko secara bermakna untuk mati, sakit, ketidakmampuan (American Psychiatric Associatin dalam Muhith, 2015).
Data statistik yang dikemukakan oleh (WHO) (2012) menyebutkan bahwa sekitar 450 juta orang di dunia mengalami masalah gangguan kesehatan jiwa. Sepertiga diantaranya terjadi di Negara berkembang. Data yang ditemukan oleh peneliti di Harvard University dan University College London, mengatakan penyakit kejiwaan pada tahun 2016 meliputi 32% dari semua jenis kecacatan di seluruh dunia. Angka tersebut meningkat dari tahun sebelumnya (VOA Indonesia, 2016).
Menurut WHO (2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta orang terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena dimensia. Jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia saat ini adalah 236 juta orang, dengan kategori gangguan jiwa ringan 6% dari populasi dan 0,17% menderita gangguan jiwa berat, 14,3% diantaranya mengalami pasung. Tercatat sebanyak 6% penduduk berusia 15-24 tahun mengalami gangguan jiwa. Dari 34 provinsi di Indonesia, Sumatera Barat merupakan peringkat ke 9 dengan jumlah gangguan jiwa sebanyak 50.608 jiwa dan prevalensi masalah skizofrenia pada urutan ke-2 sebanyak 1,9 permil. Peningkatan gangguan jiwa yang terjadi saat ini akan menimbulkan masalah baru yang disebabkan ketidakmampuan dan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh penderita (Riskesdas 2013).
Skizofrenia adalah gangguan multifaktorial perkembangan saraf yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan serta ditandai dengan gejala positif, negatif dan kognitif. Gejala psikotik ditandai oleh abnormalitas dalam bentuk dan isi pikiran, persepsi, dan emosi serta perilaku. Gejala yang dapat diamati pada pasien skizofrenia adalah penampilan dan perilaku umum, gangguan pembicaraan, gangguan perilaku, gangguan afek, gangguan persepsi, dan gangguan pikiran. Gejala kognitif sering mendahului terjadinya psikosis. Gejala positif (nyata) meliputi waham, halusinasi, gaduh gelisah, perilaku aneh, sikap bermusuhan dan gangguan berpikir formal. Gejala negatif (samar) meliputi sulit memulai pembicaraan, efek datar, berkurangnya motivasi, berkurangnya atensi, pasif, apatis dan penarikan diri secara sosial dan rasa tak nyaman (Videbeck, 2008). Pasien dengan skizofrenia cenderung menarik diri secara sosial (Maramis, 2009).
Salah satu gejala negatif dari skizofrenia sendiri adalah dapat menyebabkan klien mengalami gangguan fungsi sosial dan isolasi sosial: menarik diri. Kasus pasien gangguan jiwa yang mengalmi gejala isolasi sosial sendiri tergolong tinggi yaitu 72 % (Maramis, 2009). Jadi dapat disimpulkan bahwa gejaa terbanyak dari pasien skizofrenia adalah isolasi sosial: menarik diri sebagai akibat kerusakan afektif kognitif klien.
Isolasi sosial merupakan salah satu gejala negatif yang dimiliki pada skizofrenia digunakan oleh klien untuk menghindar dari orang lain karena pengalaman yang tidak menyenangkan dalam berhubungan dengan orang lain tidak terulang lagi (Carson, 2000; Chen, et, al.,2006; Eiken, 2012). Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidakditerima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Muhith, 2015).
Klien dengan isolasi sosial dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain yang terdiri dari faktor predisposisi dan faktor presipitasi. Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan seseorang mengalami isolasi sosial adalah adanya tahap pertumbuhan dan perkembangan yang belum dapat dilalui dengan baik, adanya gangguan komunikasi didalam keluarga, selain itu juga adanya norma-norma yang salah yang dianut dalam keluarga serta factor biologis berupa gen yang diturunkan dari keluarga yang menyebabkan gangguan jiwa. Selain faktor predisposisi ada juga factor 3 presipitasi yang menjadi penyebab adalah adanya stressor sosial budaya serta stressor psikologis yang dapat menyebabkan klien mengalami kecemasan (Prabowo, 2014).
Perasaan negatif yang timbul setelahnya akan berdampak pada penurunan harga diri terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan yang ditandai dengan adanya perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri sendiri, gangguan hubungan sosial, merendahkan martabat, percaya diri kurang dan juga dapat mencederai diri (NANDA, 2012). Dan konsep diri merupakan semua perasaan dan pemikiran seseorang mengenai dirinya sendiri, dimana hal ini meliputi kemampuan, karakter diri, sikap, tujuan hidup, kebutuhan dan penampilan diri (Videbeck, 2008).
Akibat yang akan ditimbulkan dari perilaku isolasi sosial yaitu perubahan persepsi sensori: halusinasi, resiko tinggi terhadap kekerasan, dan harga diri rendah kronis. (Keliat, 2011). Perasaan tidak berharga menyebabkan pasien semakin sulit dalam mengembangkan hubungan dengan orang lain. Hal ini menyebabkan pasien menjadi regresi atau mundur, mengalami penurunan dalam aktivitas dan kurangnya perhatian terhadap penampilan dan kebersihan diri. Pasien akan semakin tenggelam dalam perjalanan dan tingkah laku masa lalu serta tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut seperti deficit perawatan diri, halusinasi yang akhirnya menyebabkan kekerasan dan tindakan bunuh diri (Dalami dkk, 2009). Peran perawat sangat dibutuhkan dalam penanggulangan klien isolasi sosial (Iskandar, 2012).
Peran perawat dalam penanggulangan klien dengan Isolasi Sosial meliputi peran promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative. Perawat jiwa dituntut melakukan aktivitas pada tiga area utama yaitu asuhan langsung, komunikasi, penatalaksanaan keperawatan. Pada peran promotif, perawat meningkatkan dan memelihara kesehatan mental melalui penyuluhan dan pendidikan untuk klien dan keluarga. Dari aspek preventif yaitu untuk meningkatkan kesehatan mental dan pencegahan Isolasi Sosial (Yusuf, dkk, 2015).
Rumah sakit jiwa HB Saanin Padang merupakan satu satunya rumah sakit jiwa pemerintah yang ada Sumatera Barat. Berdasarkan data dari medical record pada tahun 2016 di RS Jiwa Prof. HB Saanin Padang pasien dengan gangguan jiwa sebanyak 10.365 jiwa dengan pasien rawat jalan baru sebanyak 4.478 jiwa dan pasien lama sebanyak 3.607 jiwa, sedangkan pasien rawat inap baru sebanyak 1.106 jiwa dan pasien lama sebanyak 1.174 jiwa.
Salah satu ruang ruang rawat inap di RSJ HB Saanin Padang ialah Wisma Nuri. Berdasarkan hasil dokumentasi, jumlah pasien yang memiliki masalah keperawatan isolasi sosial pada bulan Juli sebanyak 10 orang dari 31 orang total pasien yang dirawat (33,3%). Pada saat praktek di Wisma Nuri pada tanggal 8 Agustus 2018 terdapat 2 orang pasien dengan masalah utama isolasi sosial, salah satunya ialah Tn. A. Kondisi Tn. A tampak sering menyendiri dan termenung, kontak mata kadang ada kadang tidak, klien tidak mau bergaul dengan orang lain, keluarga mengatakan bahwa klien tidak pernah ikut kegiatan sosial/masyarakat dan tidak pernah berbicara dengan tetangga sekitar rumah, ketika ditanya, klien hanya menutup kedua kelopak matanya.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka kelompok tertarik memaparkan pelaksanaan “Asuhan keperawatan pada Tn. A dengan Isolasi Sosial di ruang rawat wisma Nuri RSJ. Prof. HB Saanin Padang pada tahun 2018”

B.     Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan pada Tn A dengan Isolasi Sosial di ruang rawat Wisma Nuri RSJ. Prof. HB Saanin Padang pada tahun 2018?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Tujuan Umum
Mendeskripsikan Asuhan keperawatan pada Tn A dengan Isolasi Sosial di ruang rawat wisma Nuri RSJ. Prof. HB Saanin Padang pada tahun 2018

2.      Tujuan Khusus
a.       Menggambarkan hasil pengkajian pada Tn A dengan Isolasi Sosial di ruang rawat wisma Nuri RSJ. Prof. HB Saanin Padang pada tahun 2018
b.      Menggambarkan diagnosa keperawatan pada Tn A dengan Isolasi Sosial di ruang rawat wisma Nuri RSJ. Prof. HB Saanin Padang pada tahun 2018
c.       Menggambarkan intervensi keperawatan pada Tn A dengan Isolasi Sosial di ruang rawat wisma Nuri RSJ. Prof. HB Saanin Padang pada tahun 2018
d.      Menggambarkan implementasi keperawatan pada Tn A dengan Isolasi Sosial di ruang rawat wisma Nuri RSJ. Prof. HB Saanin Padang pada tahun 2018
e.       Menggambarkan evaluasi keperawatan pada pada Tn A dengan Isolasi Sosial di ruang rawat wisma Nuri RSJ. Prof. HB Saanin Padang pada tahun 2018

D.    Manfaat Penulisan
1.      Bagi Rumah Sakit
Laporan kasus ini diharapkan dapat sebagai bahan masukan bagiRumah Sakit Jiwa Prof.HB.Saanin Padang dalam meningkatkan mutu pelayanan dan profesionalitas khususnya dalam kasus Isolasi Sosial.

2.      Bagi Perawat
Laporan kasus ini dapat menjadi bahan bacaan, menambah wawasan ilmu pengetahuan, dan menjadi gambaran bagi perawat dalam menerapkan asuhan keperawatan pada pasien dengan isolasi sosial

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Konsep Dasar Isolai Sosial
1.      Defenisi Isolasi Sosial
Isolasi sosial adalah keadaan ketika individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain dan sekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak,dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain   (Keliat,dkk, 2009).
Isolasi sosial merupakan pertahanan diri seseorang terhadap orang lain maupun lingkungan yang menyebabkan kecemasan pada diri sendiri dengan cara menarik diri secara fisik maupun psikis. Isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan yang merupakan mekanisme individu terhadap sesuatu yang mengancam dirinya dengan cara menghindari interaksi dengan orang lain dan lingkungan. Isolasi sosial merupakan upaya mengindari komunikasi dengan orang lain karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk berbagi rasa, pikiran dan kegagalan (Rusdi,2013).

2.      Rentang Respon Sosial
   Respon adaptif                                                                                     Respon maladaptive
 

Solitud                                              Kesepian                                   Manipulasi
Autonom                                          Menarik diri                              Impulsif
Kebersamaan                                   Ketergantungan                         Narkisime
Saling ketergantungan

Gambar 2.1: Rentang respon Isolasi Sosial
Sumber: Dalami (2009)
Keterangan rentang respon :
a.       Respon adaptif adalah respon yang diterima oleh norma sosial dan kutural dimana individu tersebut menjelaskan masalah dalam batas normal.
Adapun respon adaptif tersebut :
1)      Solitude (menyendiri)
Respon yang dibutuhkan untuk menentukan apa yang telah dilakukan dilingkungan sosialnya dan merupakan suatu cara mengawasi diri dan menentukan langkah berikutnya.
2)      Otonomi
Suatu kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide-ide pikiran.
3)      Kebersamaan
Suatu keadaan dalam hubungan interpersonal dimana individu tersebut mampu untuk memberi dan menerima.
4)      Saling ketergantungan
Saling ketergantungan antara individu dengan orang lain dalam hubungan interpersonal.
b.      Respon maladiptive adalah respon yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial dan kebudayaan suatu tempat.
Karakteristik dari perilaku maladiptif tersebut adalah
1)      Menarik diri
Gangguan yang terjadi apabila seseorang memutuskan untuk tidak berhubungan dengan orang lain untuk mencari ketenangan sementara
2)      Manipulasi
Adalah hubungan sosial yang terdapat pada individu yang menganggap orang lain sebagai objek dan berorientasi pada diri sendiri atau pada tujuan, bukan berorientasi pada orang lain. Individu tidak dapat membina hubungan sosial secara mendalam.
3)      Ketergantungan
Individu gagal mengembangkan rasa percaya diri dan kemampuan  yang dimiliki.
4)      Impulsif
Ketidakmampuan merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari pengalaman, tidak dapat diandalkan, mempunyai penilaian yang buruk dan cenderung memaksakan kehendak.
5)      Narkisisme
Harga diri yang rapuh,secara terus menerus berusaha mendapatkan penghargaan dan pujian, memiliki sikap egosentris, pencemburu dan marah jika orang lain tidak mendukung.

3.      Faktor Penyebab Isolasi Sosial
Menurut Pusdiklatnakes (2012) kegagalan-kegagalan yang terjadi sepanjang daur kehidupan dapat mengakibatkan perilaku menarik diri:
a.       Faktor Predisposisi
1)      Faktor Biologis
Adanya faktor herediter yang mengalami gangguan jiwa, adanya resiko, riwayat penyakit trauma kepala, dan riwayat penggunaan NAPZA.
2)      Faktor Psikologis
Ditemukan pengalaman negatif klien terhadap gambaran diri, tidak jelasnya atau berlebihnya peran yang dimiliki, kegagalan dalam mencapai harapan atau cita-cita, krisis identitas dan kurangnya penghargaan baik dari diri sendiri maupun lingkungan,yang dapat menyebabkan gangguan dalam berinteraksi dengan orang lain, dan akhirnya menjadi masalah isolasi sosial.
3)      Faktor Sosial Budaya
Pada klien isolasi sosial biasanya ditemukan dari kalangan ekonomi rendah,riwayat penolakan lingkungan pada usia perkembangan anak,tingkat penididikan rendah dan kegegalan dalam berhubungan sosial.
b.      Faktor Presipitasi
Biasanya ditemukan riwayat penyakit infeksi, penyakit kronis,atau kelaianan struktur otak,kekerasan dalam keluarga,kegagalan dalam hidup, kemiskinan, atau adanya tuntutan di keluarga atau masyarakat yang sering tidak sesuai dengan klien,konflik antar masyarakat.
Faktor pencetus pada umumnya mencakup kejadian kehidupan yang penuh stress seperti kehilangan, yang mempengaruhi kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan menyebabkan ansietas.
Faktor pencetus dapat dikelompokkan dalam kategori :
1)      Faktor sosiokultural.
Stres dapat ditimbulkan oleh menurunnya stabilitas unit keluarga, dan berpisah dari orang yang berarti dalam kehidupannya, misalnya karena dirawat dirumah sakit.
2)      Faktor psikologik
Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan dengan keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan untuk ketergantungan dapat menimbulkan ansietas tinggi (Stuart, 2006).

4.      Proses Terjadinya Isolasi Sosial
Salah satu gangguan berhubungan sosial diantaranya perilaku menarik diri atau isolasi sosial yang disebabkan oleh perasaan tidak berharga yang bisa dialami klien dengan latar belakang yang penuh dengan permasalahan, ketegangan, kekecewaan dan kecemasan. Perasaan tidak berharga menyebabkan klien makin sulit dalam mengembangkan berhubungan dengan orang lain. Akibatnya klien menjadi regresi atau mundur, mengalami penurunan dalam aktivitas dan kurangnya perhatian terhadap penampilan dan kebersihan diri. Klien semakin tenggelam dalam perjalinan terhadap penampilan dan tingkah laku masa lalu serta tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut halusinasi (Dalami, dkk, 2009).

5.      Tanda dan Gejala Isolasi Sosial
Menurut Pusdiklatnakes (2012) tanda dan gejala isolasi sosial dapat dinilai dari ungkapan klien yang menunjukkan penilaian negatif tentang hubungan sosial dan didukung dengan data observasi :
a.       Data subjektif
Pasien mengungkapkan tentang :
1)      Perasaan sepi
2)      Perasaan tidak aman
3)      Perasaan bosan dan waktu terasa lambat
4)      Ketidakmampuan berkonsentrasi
5)      Perasan ditolak
b.      Data objektif
1)      Banyak diam
2)      Tidak mau bicara
3)      Menyendiri
4)      Tidak mau berinteraksi
5)      Tampak sedih
6)      Kontak mata kurang
7)      Muka datar

6.      Mekanisme Koping
Individu yang mengalami respon sosial maladiptif menggunakan berbagai mekanisme dalam upaya untuk mengatasi ansietas. Mekanisme tersebut berkaitan dengan dua jenis masalah hubungan yang spesifik (Stuart, 2006). Koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian antisosial antara lain proyeksi, spliting dan merendahkan orang lain, koping yang  berhubungan dengan gangguan kepribadian ambang spliting, formasi reaksi, proyeksi, isolasi, idealisasi orang lain, merendahkan orang lain dan identifikasi proyektif.
Pada klien isolasi sosial ketika menghadapi stresor tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang efektif. Mekanisme koping yang digunakan yaitu proyeksi, splitting dan merendahkan orang lain. Proyeksi adalah memindahkan pikiran atau dorongan atau impuls emosional atau keinginan-keinginan yang dapat diterima orang lain. Pada orang-orang yang melakukan mekanisme koping proyeksi, ide atau keinginan individu akan dialihkan kepada orang lain sampai orang lain yang diajak berinteraksi dapat menerima idenya tersebut. Splitting adalah memandang orang atau situasi semuanya baik atau semuanya buruk. Pada splitting individu mengalami kegagalan dalam mengintegrasikan kualitas positif dan negatif dalam diri Sedangkan merendahkan orang lain adalah mekanisme koping yang dilakukan seseorang dengan memandang dirinya lebih baik dan lebih tinggi dari orang lain. Orang lain dianggap tidak mempunyai kemampuan lebih dari diri klien (Townsend, 2009).
Menurut Stuart (2006), sumber koping yaang berhubungan dengan respon sosial maladaptif meliputi keterlibatan dalam hubungan keluarga yang luasan teman, hubungan dengan hewan peliharaan dan penggunaan kreatifitas untuk mengekspresikan stress interpersonal misalnya kesenian, musik atau tulisan.

7.      Penatalaksanaan
a.       Penatalaksanaan medis
Menurut Dermawan, 2013 penatalaksanaan klien yang mengalami isolasi sosial adalah dengan pemberian obat-obatan dan tindakan lain yaitu :
1)      Terapi Farmakologi
a)      Clorpromazine (CPZ)
      Indikasi: Untuk syndrome psikosis yaitu berdaya berat dalam kemampuan menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya nilai norma sosial dan tilik diri terganggu, berdaya berat dalam fungsi -fungsi mental: waham, halusinasi, gangguan perasaan dan perilaku yang aneh atau, tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan sehari -hari, tidak mampu bekerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin.
Efek samping: Sedasi, gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/ parasimpatik,mulut kering, kesulitan dalam miksi, dan defikasi, hidung tersumbat,mata kabur, tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama jantung),gangguan ekstra piramidal (distonia akut, akatshia, sindromaparkinson/tremor, bradikinesia rigiditas), gangguan endokrin, metabolik, hematologik, agranulosis, biasanya untuk pemakaian jangka panjang.
b)      Haloperidol (HLP)
      Indikasi: Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi netral serta dalam fungsi kehidupan sehari – hari.
Efek samping : Sedasi dan inhibisi psikomotor, gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik /parasimpatik, mulut kering, kesulitan miksi dan defikasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intraokuler meninggi, gangguan irama jantung).
c)      Trihexy phenidyl (THP)
      Indikasi:Segala jenis penyakit parkinson,termasuk paska ensepalitis dan idiopatik,sindrom parkinson akibat obat misalnya reserpin dan fenotiazine.
Efek samping: Sedasi dan inhibisi psikomotor Gangguan otonomik (hypertensi, anti kolinergik/ parasimpatik, mulut kering, kesulitanmiksi dan defikasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra oluker meninggi, gangguan irama jantung).
2)      Electro Convulsive Therapy
            Electro Convulsive Therapi (ECT) atau yang lebih dikenal dengan eletroshock adalah suatu terapi psiatri yang menggunakan energi shock listrik dalam pengobatannya. Biasanya ECT ditunjukan untuk terapi pasien gangguan jiwa yang tidak berespon pada obat psikiatri pada dosis terapinya. Diperkirakan hampir 1 juta orang di dunia mendapat terapi ECT setiap tahunnya dengan intensitas antara 2-3 kali seminggu. ECT bertujuan untuk memberikan efek kejang klonik yang dapat memberikan efek terapi selama 15 menit.

b.      Penatalakasanaan Keperawatan
1)      Terapi individu dan keluarga
Penatalaksanaan isolasi sosial dapat dilakukan dengan strategi pelaksanaan tindakan keperawatan (SPTK) pada pasien yang lebih dikenal dengan strategi pelaksanaan (SP) yang terdiri dari beberapa strategi pelaksanaan diantaranya strategi pelaksaan pasien mengajarkan dengan berinteraksi secara bertahap dan keluarga yang terdiri dari masing-masing empat strategi pelaksaan (Badar, 2016)

2)      Terapi aktivitas kelompok
            Menurut Stuart dan Laraia kegiatan kelompok merupakan tindakan keperawatan pada kelompok dan terapi kelompok. Terapi aktivitas kelompok (TAK), terdiri dari 4 macam yaitu TAK stimulasi persepsi, TAK stimulasi sensori, TAK stimulasi realita, dan TAK sosialisasi. Terapi kelompok yang cocok pada pasien isolasi sosial yaitu terapi aktivitas kelompok sosial (TAKS) karena klien mengalami gangguan  hubungan sosial (Badar , 2016).
            Terapi aktivitas kelompok sosialisasi yang dapat dilakukan pada pasien dengan isolasi sosial adalah :
a)      Sesi 1 :kemampuan mengenalkan diri
b)      Sesi 2 :kemampuan berkenalan
c)      Sesi 3 :kemampuan bercakap-cakap dengan anggota kelompok
d)     Sesi 4 :kemampuan menyampaikan topic pembicaraan tertentu
e)      Sesi 5 :kemampuan bercakap-cakap masalah pribadi
f)       Sesi 6 : kemampuan bekerjasama dalam sosialisasi

B.     Konsep Asuhan Keperawatan Teoritis pada Pasien dengan Isolasi Sosial
1.      Pengkajian Keperawatan
Menurut Rusdi (2013) pengkajian asuhan keperawatan pada pasien isolasi sosial adalah sebagai berikut :
a.       Identitas
Identitas terdiri dari : nama pasien (Identitas), umur, jenis kelamin, agama, alamat lengkap, tanggal masuk, alasan masuk, nomor rekam medik, informan, keluarga yang bisa dihubungi.
b.      Alasan masuk
Alasan klien masuk bisa dilihat dari riwayat rekam medik klien ataupun bisa didapatkan dari keluarga pasien. Bagaimana keadaan klien selama dirumah, apa yang menyebabkan pasien/keluarga datang ke rumah sakit saat ini, apa yang sudah dilakukan keluarga untuk mengatasi masalah, dan bagaimana hasilnya.
c.       Faktor predisposisi
Biasanya pasien pernah mengalami gangguan jiwa dimasa lalu, pengobatan yang pernah dilakukan sebelumnya (biasanya berhasil, kurang berhasil, dan tidak berhasil). Biasanya pasien pernah menjadi mengalami dan menyaksikan penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam keluarga, dan tindakan criminal.Biasanya ada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.Biasanya ada pengalaman masa lalu pasien yang tidak menyenangkan seperti kegagalan, kehilangan, perpisahan, kematian, trauma selama tumbuh kembang yang pernah dialami pasien pada masa lalu.
d.      Fisik
Biasanya difokuskan pada system dan fungsi organ. Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan head to toe,tanda - tanda vital (TTV) ,ukur tinggi badan dan berat badan, dan kaji lebih lanjut sitem dan fungsi organ serta jelaskan dengan kondisi yang sesuai dengan keluhan yang ada.
e.       Psikososial
1)      Genogram
Adanya anggota keluarga pasien yang lain yang mengalami gangguan jiwa, pola komunikasi terganggu, begitu pula dengan pengambilan keputusan dan pola asuh. Genogram dilihat dari 3 generasi sebelumnya.
2)      Konsep diri
a)      Citra tubuh
Biasanya berisi tentang persepsi pasien terhadap tubuhnya, bagian tubuh yang disukai dan bagian tubuh yang tidak disukainya.Biasanya pasien mudah kecewa, mudah putus asa, menutup diri.
b)      Identitas diri
Biasanya berisikan status pasien atau posisi pasie sebelum dirawat.Kepuasan pasien sebagai laki – laki atau perempuan. Dan kepuasan pasien terhadap status dan posisinya di (sekolah, tempat kerja, dan kelompok)
c)      Peran diri
Biasanya pasien menceritakan tentang peran/tugas yang diemban dalam keluarga/ kelompok masyarakat. Kemampuan pasien dalam melaksanakan tugas atau peran tersebut biasanya mengalami krisis peran.
d)     Ideal diri
Biasanya berisi tentang harapan pasien terhadap penyakitnya.Harapan pasien terhadap lingkungan (keluarga, sekolah, tempat kerja, dan masyarakat).Dan harapan pasien terhadap tubuh, posisi, status, dan tugas atau peran.Biasanya gambaran diri negatif.
e)      Harga diri
Biasanya tentang bagaimana cara pasien memandang dirinya, orang lain sesuai dengan kondisi pada citra diri, identitas diri, peran diri, dan ideal diri. Penilaian/ penghargaan orang lain terhadap diri dan kehidupannya. Biasanya pasien mengalami harga diri rendah.
f)       Hubungan sosial
Biasanya pasien dengan isolasi sosial apatis, tidak mempunyai orang yang terdekat dan sering dicemoohkan oleh lingkungan disekitar pasien
g)      Spritual
1)      Nilai dan keyakinan
Biasanya nilai – nilai dan keyakinan terhadap agama kurang sekali, keyakinan agama pasien isolasi sosial juga terganggu
2)      Kegiatan ibadah
Biasanya pasien menjalankan kegiatan ibadah dirumah sebelumnya, saat sakit ibadah terganggu atau sangat berlebihan.
h)      Status mental
1)      Penampilan
Biasanya penampilan pasien tidak rapi, penggunaan pakaian tidak sesuai, dan cara berpakaian pasien tidak seperti biasanya, kuku panjang, rambut tampak banyak ketombe, pakaian tampak kotor.
2)      Cara bicara/ pembicaraan
Biasanya cara bicara pasien dengan isolasi sosial biasanya lambat, membisu, dan tidak mampu memulai pembicaraan.
3)      Aktivitas motorik
Biasanya keadaan pasien tampak lesu, tegang, gelisah, sering menyendiri dan tremor.
4)      Alam perasaan
Biasanya ditemukan keadaan pasien tampak seperti sedih, ketakutan, putus asa, dan khawatir.
5)      Afek
Biasanya afek pasien datar, tumpul, labil, tidak sesuai, berlebihan, dan ambivalen.
6)      Interaksi selama wawancara
Biasanya pada saat melakukan wawancara pasien bermusuhan, tidak kooperatif , mudah tersinggung, kontak mata tidak mau menatap lawan bicara, dan selalu curiga.
7)      Persepsi
Biasanya tergantung dari halusinasi yang di derita oleh pasien.Seperti halusinasi pendengaran mendengar sesuatu, penglihatan melihat sesuatu, penghidu menghidu sesuatu, pengecap mengecap sesuatu, perabaan merasakan sesuatu, jika ditemukan halusinasi maka perlu ditanyakan apa isi halusinasi dan frekuensi gejala yang tampak saat pasien berhalusinasi.
8)      Proses pikir
Biasanya pada pasien isloasi sosial proses pikir pasien Sirkumtansial, tangensial dan kehilangan asosiasi.
9)      Isi pikir
Biasanya pada pasien isolasi sosial ditemukan phobia, depersonalisasi dan ide yang terkait
10)  Tingkat kesadaran
Biasanya pada pasien ditemukan tingkat kesadaran bingung dan sedasi melalui wawancara atau observasi.
11)  Tingkat konsentrasi berhitung
Biasanya pada saat dilakukan wawancara cendrung tidak mampu berkonsentrasi dan tidak mampu berhitung.
12)  Kemampuan penilaian
Biasanya pasien mengalami gangguan kemampuan penilaiaan bermakna.
13)  Daya tilik diri
Biasanya pasien mengingkari penyakit yang diderita dan menyalahkan hal-hal yang diluar dirinya.
i)        Kebutuhan Persiapan pulang
1)      Makan: biasanya pasien kurang makan dan makan  pasien tidak sesuai kebutuhan.
2)      Mandi: biasanya pasien tidak mau mandi, gosok gigi, tampak kusam dan tidak mau menggunting kuku.
3)      BAK/BAB: biasanya BAB/BAK pasien normal/ tidak ada gangguan
4)      Berpakaian: biasanya pasien tidak mau mengganti pakaian, dan memakai pakaian yang tidak serasi
5)      Istirahat: biasanya istirahat pasien terganggu
6)      Penggunaan obat : biasanya pasien minum obat tidak teratur
7)      Aktivitas dalam rumah : biasanya pasien malas mengerjakan pekerjaan rumah
8)      Aktivitas diluar rumah: biasanya pasien tidak mau beraktivitas diluar rumah, karena pasien selalu merasa ketakutan.
j)        Mekanisme Koping
1)      Adaptif
Biasanya pasien menyendiri, otonomi, mutualisme dan interdependent
2)      Maladaptif
Biasanya reaksi pasien lambat/berlebihan, pasien bekerja secara berlebihan, selalu menghindar dan menciderai diri sendiri.
3)      Masalah psikososial dan lingkungan
Biasanya pasien mengalami masalah dalam berinteraksi dengan lingkungan, biasanya disebabkan oleh kurangnya dukungan dari kelompok, masalah dengan pendidikan, masalah dengan pekerjaan, masalah dengan ekonomi dan masalah dengan pelayanan kesehatan.
4)      Pengetahuan
Biasanya pasien isolasi sosial mengalami gangguan kognitif.

k)      Aspek Medik
Tindakan medis dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien skizofrenia adalah dengan memberikan terapi sebagai berikut :
1)      Electro Convulsive Therapi (ECT)
2)      Obat – obatan seperti: Clopromazine (CPZ), Haloperidol (HLP), Trihexphenidyl (THP)


2.     

 
Pohon Masalah
Gangguan Sensori Persepsi : Halusinasi
Defisit Perawatan Diri (Effect)

Isolasi Sosial (Core Problem)

Harga Diri Rendah (Cause)


3.      Kemungkinan Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan pohon masalah di atas maka kemungkinan diagnosa keperawatan jiwa yang muncul adalah sebagai berikut:
a.       Isolasi sosial
b.      Harga Diri Rendah
c.       Gangguan sensori persepsi : halusinasi
d.      Defisit perawatan diri




4.      Intervensi Keperawatan
No
Diagnosa keperawatan
Perencanaan
Rasional
Tujuan
Kriteria Evaluasi
Intervensi
1.
Isolasi sosial
Tujuan Umum :
Pasien mampu berinteraksi dengan orang lai secara optimal

Tujuan Khusus:
Pasien mampu :
1.      Membina hubungan saling percaya
2.      Menyadari penyebab isolasi sosial
3.      Berkenalan dengan perawat
Setelah 1 x 30 menit pertemuan pasien :
1.      Mampu membina hubungan saling percaya di tandai dengan pasien menunjukkan ekspresi wajah bersahabat, memperlihatkan rasa senang, ada kontak mata, mau berjabat tangan, mau menyebutkan namanya, mau menjawab salam, pasien mau duduk berdampingan dengan perawat, mau mengutarakan masalah yang dihadapi
2.      Mampu mengenal penyebab isolasi sosial, keuntungan berhubungan dengan orang lain, dan kerugian tidak berhubungan
3.      Mampu berkenalan dengan perawat
4.      Mampu menyusun jadwal kegiatan harian berkenalan
SP 1 :
1.      Bina hubungan saling percaya dengan tindakan :
-          Mengucapkan salam setiap kali interaksi dengan pasien
-          Berkenalan dengan pasien : perkenalakan nama dan nama panggilan yang disukai, serta tanyakan nama dan nama panggilan pasien
-          Menanyakan perasaaan dan keluhan pasien saat ini
-          Buat kontrak asuhan: apa yang akan dilakukan bersama pasien nerapa lama akan dikerjakan, dan dimana tempatnya
-          Jelaskna bahwa informasi yang diperoleh untuk kepentingan terapi akan dirahasikan
-          Setiap sat tunjukkan sikap empati terhadap pasien
-          Penuhi kebutuhan dasar pasien bila memungkinkan
2.      Bantu pasien mengenal penyebab isolasi sesuai dengan tindakan sebagai berikut :
-          Menanyakan pendapat pasien tentang kebiasaan berinteraksi dengan orang lain
-          Siapa yang satu rumah dengan pasien
-          Siapa yang dekat dengan pasien
-          Apa sebabnya?
-          Siapa yang tidak dekat dengan pasien dan apa sebabnya
-          Meanyakan apa yang menyebabkan pasien tidak ingin berinteraksi dengan orang lain
3.      Bantu pasien mengenal keuntungan berhubungan dengan orang lain dengan cara mendiskusikan keuntungan bila pasien memiliki banyak teman dan bergaul akrab dengan mereka
4.      Bantu pasien mengenal kerugian tidak berhubungan dilakukan dengan cara :
-          Mendiskusikan keruguan bila pasien hanya mengurung diri dan tidak bergaul dengan orang lain
-          Menjelaskan pengaruh isolasi sosial terhdap kesehatan fisik pasien
5.      Latih dan ajarkan pasien berkenalan dengan cara :
-          Jelaskan kepada pasien cara berinteraksi dengan orang lain
-          Berikan contoh bcara berinteraksi dengan perawat atau tamu :
-          Sebutkan dulu nama kita dan nama panggilan asal dan hobi
-          Menanyakan nama, nama panggilan asal dan hobi
6.      Masukan dalam jadwal harian
-          Hubungan saling percaya merupakan landasan dasar interaksi perawat dengan klien sehingga klien terbuka dalam mengungkapkan masalahnya dan menimbulkan sikap menerima terhadap orang lain


















-          Agar klien dapat mengenal dan mengungkapkan penyebab isolasi sosial yang terjadi














-          Agar klien mempunyai keinginan berinteraksi dengan orang lain


-          Agar klien menyadari kerugian yang ditimbulkan akibat berinteraksi dengan orang lain





-          Dengan belajar berkenalan menimbulkan motivasi klien untuk berinteraksi dengan orang lain








-          Memberikan rasa tanggungjawab pada pasien untuk melaksanakan kegiatan dengan teratur


4.      Berkenalan dengan 2-3 orang dan berbicara sambil melakukan 2 kegiatan harian
 Setelah interaksi 1 x 30 menit  pasien :
1.      Mampu berinterakasi dengan orang lain secara bertahap : berkenalan dengan 2-3 orang
2.      Mampu berbicara sambil melakukan kegiatan harian (2 kegiatan)
3.      Mampu memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
SP 2
1.      Mengevaluasi kegiatan yang lalu (SP1). Beri pujian
2.      Latih cara berbicara saat melakukan kegiatan harian (latih 2 kegiatan)
3.      Memasukkan pada jadwal harian berkenalan dengan 2-3 orang pasien, perawat dan tamu, berbicara saat melakukan kegiatan harian

-          Menilai kemampuan dan perkembangan pasien
-          Memberikan kesempatan dan motivasi klien untuk mau melakukan interaksi secara bertahap dan interaksi saat melakukan kegiatan


5.      Berkenalan denga 4-5 orang dan berbicara sambil melakukan 2 kegiatan harian baru
Setelah interaksi 1 x 30 menit pasien :
1.      Mampu menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan
2.      Mampu beribteraksi dengan orang lain secara bertahap : berkenala dengan 4-5 orang sambil berbicara sambil melakukan 2 kegiatan (baru)
3.      Mampu memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
SP 3 :
1.      Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1 dan SP 2). Beri pujian
2.      Latih cara berbicara saat meakukan kegiatan harian ( 2 kegiatan baru)
3.      Masukan pada jadwal kegiatan untuk latihan berkenalan 4-5 orang berbicara saat melakukan 4 kegiatan harian

-          Sebagai dasar perawat untuk menilai perkembangan klien dalam mengenal cara berinteraksi
-          Memberikan motivasi klien untuk berinteraksi dan mendapatkan respon yang positif
-          Memberikan motivasi dan rasa tanggungjawab pada pasien untuk melaksanakan kegiatan berkenalan dengan teratur


6.      Berbicara sambil melakukan kegiatan sosia
Setelah interaksi 1 x 30 menit pasien :
1.      Mampu menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan
2.      Mampu berinteraksi dengan orang lain secara bertahap: berkenalan dengan > 5 orang dan bersosialisasi
3.      Mampu memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
SP 4 :
1.      Evaluasi kegiatan lalu (SP 1, SP 2, dan SP 3). Beri pujia
2.      Latih cara bicara sosial : meminta sesuatu, emnejawab pertanyaan
3.      Masukkan pada jadwal keguatan untuk latihan berkenalan dengan >5 orang, orang baru, bebicara saat melakukan kegiatan dan bersosialisasi

-          Menilai perkembangan dan kemajuan pasien
-          Memberikan motivasi klien untuk berinteraksi dan mendapatkan respon yang positif
-          Memberikan motivasi dan rasa tanggungjawab pada pasien untuk melaksanakan kegiatan berkenalan dengan teratur


Keluarga mampu :
Merawat pasien di rumah
Setelah interaksi 1 x 30 menit keluarga :
1.      Mampu mengidentifikasi masalah dan menjelaskan cara merawat pasien dengan isolasi sosial : berkenalan dan berbicara saat melakukan kegiatan harian
SP 1
Beri penyuluhan kepada keluarga tentang cara merawat pasien isolasi sosial di rumah
1.      Identifikasi dan diskusikan masalah keluarga dlam merawat pasien di rumah
2.      Diskusikan bersama kleyarga tentang isolasi sosiL : Pengertian, tanda dan gejala serta proses terjadinya
3.      Jelaskan dua cara merawat pasien dengan berkenalan dan berbicara saat melakukan kegiatan harian
4.      Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal saat besuk

-          Dengan penyuluhan dapat meibatkan keluarga dalam meningkatkan kemmapuan keluarga untuk merawat pasien sehingga meningkatkan perawatan pasien
-          Memberikan kesempatan kepada keluarga mengungkapkan masalh keluarga dalam merawat pasien di rumah
-          Meningkatkan pegetahuan dan kemampuan keluarga untuk mengenal masalah isolasi sosial yang dialami pasien
-          Memberikan pemahaman dan meningkatkan kemmapuan cara merawat pasien dengan isolasi sosial





Setelah interaksi 1 x 30 menit keluarga :
1.      Mampu mempraktekan cara merawat pasien isolasi sosial dengan cara melakukan kegiatan harian
SP 2 :
1.      Evaluasi kegiatan yang lalu (SP1). Beri pujian
2.      Jelaskan kegiatan rumah tangga yang dapat melibatkan pasien berbicara (makan, gotong royong di lingkungan rumah) di rumah
3.      Latih cara membimbing pasien berbicara dan beri pujian
4.      Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal dan beri pujian saat besuk

-          Memberikan keyakinan dan rasa percaya diri pada keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan isolasi sosial











Setelah interaksi 1 x 30 menit keluarga :
1.      Mampu mempraktekan cara merawat pasien isolasi sosial denga cara melakukan kegiatan sosial
SP 3:
1.      evaluasi kegiatan yang lalu )SP 1, Sp. Beri pujian
2.      Jelaskan cara melatih pasie melakukan kegaitan sosial seperti berbelanja ke warung, meminta sesuatu, dll
3.      Latih keluarga mengajak pasien belanja saat besuk
4.      Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal dan berikan pujian saat besuk

-          Meningkatkan pengetahuan dan kemamouan keluarga untuk merawat pasien
-          Memberikan keyakinan dan arsa peracya dri pada kelyarga dalam merawat anggota keluarga dengan isolasi sosial



Seyelah interaksi 1 x 30 menit keluarga :
1.      Mampu membuat jadwal aktifitas di rumah/ perecanaan pulang pasien dan melaksanakan follow up pasien setelah pulang
SP 4
1.      Evaluasi kegaitan yang lalu (SP1, SP2, Sp3). Beri pujian
2.      Jelaskan follow up ke RSj/PKM, tanda kambuh, rujukan
3.      Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal dan memberikan pujian

-          Membantu memberikan rasa tanggungjawab pada keluarga agar pasien melaksanakan kegaitan serta minum obat dengan teratur
-          Memberikan keyakinan pada keluarga untuk melanjutkan merawat keluarga dengan isolasi sosial
2.
Gangguan konsep diri : Harga Diri Rendah
Klien mampu :
1.  Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
2.  Menilai kemampuan yang dapat digunakan
3.  Klien dapat menetapkan / memilih kegiatan sesuai dengan kemampuan
4.  Menyusun jadwal untuk melakukan kegiatan yang sudah dilatih
Setelah 1x 30 menit Pertemuan klien :
1.   Mampu mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
2.   Mampu menilai kemampuan yang dapat digunakan
3.   Mampu menetapkan / memilih kegiatan yang sesuai kemampuan
4.   Mampu melatih 1 kegiatan yang sudah dipilih, sesuai dengan kemampuan
5.   Mampu menyusun jadwal kegiatan harian
SP 1
1.   Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien
2.   Membantu klien dalam menilai kemampuan yang masih dapat digunakan

3.   Membantu klien dalam memilih kegiatan yang akan dilatih sesuai dengan kemampuan klien


4.   Melatih kegiatan yang dipilih sesuai dengan kemampuan klien
5.   Memberikan pujian yang wajar terhadap keberhasilan klien

6.   Menganjurkan klien untuk memasukan ke dalam jadwal kegiatan harian
Dengan mengidetifikasi kemampuan yang dimiliki dapat menetukan tindakan selanjutna
Membantu klien menilai kemampuan yang dimiliki sabagai dasar asuhan keperawatan
Mmberikan pilihan kegaitan apa yang ingin dilakukan klien terlebih dahulu .sesuai kemampuan yang dimiliki.

Dengan memilih kegiatan yang dipilih klien diharapkan dapat meningkatkan kemampuan yang klien miliki                         

Melatih       dan memberikan rasa tanggung jawab untuk melakukan kegiatan secara teratur                 



Setelah interaksi 30 menit klien mampu :
1.   Melatih kegiatan kedua yang dipilih sesuai dengan kemampuan
2.   Mampu menyusun jadwal untuk melakukan kegiatan kedua yang sudah dipilih
SP 2
1.   Evaluasi jadwal kegiatan harian klien (SP1)

2.   Latih kemampuan yang kedua



3.   Anjurkan klien untuk memasukan ke dalam jadwal harian klien

Sebagai dasar bagi perawat untuk menilai perkembangan klien
Memberikan kesempatan dan motivasi klien untuk meningkatkan harga diri klien
Memberikan motivasi dan rasa tanggung jawab pada klien untuk melaksanakan kegiatan dengan teratur



Setelah interaksi 30 menit klien mampu :
1.   Melatih kegiatan ketiga yang dipilih sesuai dengan kemampuan
2.   Mampu menyusun jadwal untuk melakukan kegiatan ketiga yang sudah dipilih
SP 3
1.   Evaluasi jadwal kegiatan harian klien (SP1, SP2)

2.   Latih kemampuan yang ketiga



3.   Anjurkan klien untuk memasukan ke dalam jadwal harian klien

Sebagai dasar bagi perawat untuk menilai perkembangan klien
Memberikan kesempatan dan motivasi klien untuk meningkatkan harga diri klien
Memberikan motivasi dan rasa tanggung jawab pada klien untuk melaksanakan kegiatan dengan teratur



Setelah interaksi 30 menit klien mampu :
1.   Melatih kegiatan keempat yang dipilih sesuai dengan kemampuan
2.   Mampu menyusun jadwal untuk melakukan kegiatan keempat yang sudah dipilih
SP 4
1.   Evaluasi jadwal kegiatan harian klien (SP1, SP2, SP3)

2.   Latih kemampuan yang keempat


3.   Anjurkan klien untuk memasukan ke dalam jadwal harian klien

Sebagai dasar bagi perawat untuk menilai perkembangan klien
Memberikan kesempatan dan motivasi klien untuk meningkatkan harga diri klien
Memberikan motivasi dan rasa tanggung jawab pada klien untuk melaksanakan kegiatan dengan teratur
3.


Gangguan sensori persepsi : halusinasi

Tujuan Umum :
Pasien mampu mengontrol halusinasi yang di alaminya
Tujuan Khusus :
Klien mampu :
1.      Mengenal halusinasi dan mampu mengontrol halusinasi dengan menghardik










2.      Mengontrol halusinasi dengan enam benar minum obat







3.      Mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap








4.      Mengontrol halusinasi dengan melakukan aktifitas sehari-hari

Setelah dilakukan pertemuan dengan pasien selama 1 x 30 menit pasien mampu mengenal jenis halusinasi, isi halusinasi, waktu halusinasi, frekuensi halusinasi, situasi yang menimbulkan halusinasi, menjelaskan respon terhadap halusinasi, mampu menghardik halusinasi









Setelah dilakukan pertemuan dengan pasien selama 1 x 30 menit pasien mampu menjelaskan enam benar minum obat





Setelah dilakukan pertemuan dengan pasien selama 1 x 30 menit pasien mampu bercakap-cakap jika terjadi halusinasi





Setelah dilakukan pertemuan dengan pasien selama 1 x 30 menit pasien mampu melakukan aktifitas harian sesuai jadwal
SP 1 :
1.      Identifikasi halusinasi : isi, frekuensi, waktu terjadi, situasi pencetus, perasaan, respon.
2.      Jelaskan cara mengotrol halusinasi : hardik,obat, bercakap-cakap, melakukan kegiatan
3.      Latih cara mengontrol halusinasi dengan menghardik
4.      Memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan menghardik











SP 2 :
1.      Evaluasi kegiatan hardik, beri pujian
2.      Latih cara mengontrol halusinasi dengan obat ( jelaskan 6 benar : jenis, guna, dosis, frekuensi, cara, kontinuitas minum obat )
3.      Masukkan dalam jadwal kegiatan untuk latihan menghardik dan minum obat

SP 3:
1.      Evaluasi kegiatan latihan menghardik dan obat . beri pujian
2.      Latih cara mengontrol halusinasi denganbercakap – cakap saat terjadi halusinasi
3.      Masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan menghardik,minum obat,dan bercakap- cakap


SP 4:
1.      Evaluasi kegiatan latihan menghardik , obat dan bercakap-cakap. Beri pujian.
2.      Latih cara mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan harian ( mulai 2 kegiatan )
3.      Masukksan pada jadwal kegiatan untuk latihan menghardik, minum obat, bercakap-cakap dan kegiatan harian.
1.      Dengan memberikan pemahaman tentang halusinasi klien memahami masalah yang dialaminya, kapan masalah tumbuh, pentingnya masalah untuk diatasi.
2.      Dengan menghardik halusinasi memberi kesempatan pada klien mengatasi masalah dengan reaksi penolakan terhadap sensasi palsu






Agar memahami pentingnya minum obat secara teratur dan akibat bila putus minum obat







Dengan bercakap-cakap mengalihkan fokus perhatian untuk menghindari halusinasi





Dengan aktifitas terjadwal memberikan kesibukan yang menyita waktu dan perhatian ketika merasakan halusinasi muncul


4.
Defisit perawatan diri
Tujuan Umum
Pasien dapat melakukan kebersihan diri dan mampu mengatasi defisit perawatan diri

Tujuan khusus :
Pasien mampu :
1.      Melakukan kebersihan diri secara mandiri

Setelah 1 x 30 menit pertemuan  pasien :
a.       Mampu  menjelaskan pentingnya menjaga kebersihan
b.      Menjelaskan alat-alat untuk menajga kebersihan diri
c.       Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
d.      Melatih klien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri
e.       Mampu menyusun jadwal kegiatan harian berkenalan.

SP 1 pasien
a.       Mengidentifikasi tanda dan gejala deficit perawatan diri : kebersihan diri, berdandan, makan/minum, BAB dan BAK
b.      Jelaskan [entingnya kebersihan diri
c.       Jelaskan alat dan cara kebersihan diri
d.      Melatih cara menjaga kebersihan diri : mandi, cuci rambut, siakt gigi, potong kuku
e.       Memasukan kedalam jadwal kegiatan harian

a.       Untuk mengidentifikasi defisit perawatan diri pada klien
b.      Melihat kemauan klien untuk melakukan kegiatan


2.      Pasien mampu berdandan/berhias dengan baik.
Setelah interaksi 1 x 30 menit pasien mampu :
a.       Berpakaian dengan baik
b.      Menyisir rambut
c.       Bercukur
d.      Berhias
SP 2 pasien
a.       Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien (SP 1)
b.      Jelaskan cara dan alat untuk berdandan atau berhias
c.       Latih cara berdandan atau berhias
d.      Masukkan pada jadwal kegiatan harian klien

a.       Mengetahui kemampuan pasien melakukan latihan sebelumnya.
b.      Untuk mengatasi defisit perawatan diri
c.       Melihat kemauan pasien untuk melakukan kegiatan



3.      Pasien mampu makan dan minum dengan baik
Setelah interaksi 1 x 30 menit pasien mampu :
a.       Menjelaskan cara makan dan minum yang tertib
b.      Menjelaskan cara merapikan peralatan makan dan minum setelah makan dan minum
c.       Mempraktekkan makan sesuai dengan tahapan makan yang baik
SP 3 pasien
a.       Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien (SP 1, SP 2)
b.      Jelaskan kebutuhan dan cara makan dan minum
c.       Melatih cara makan dan minum yang baik
d.      Masukkan ke dalam jadwal kegiatan harian

a.       Mengetahui kemampuan pasien melakukan latihan sebelumnya.
b.      Untuk mengatasi defisit perawatan diri
c.       Melihat kemauan pasien untuk melakukan kegiatan


4.      Pasien mampu BAB dan BAK dengan benar
Setelah interaksi 1 x 30 menit pasien mampu :
a.       Menjelaskan tempat BAB dan BAK yang sesuai
b.      Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK
c.       Menjelaskan cara membersihan tempat BAB dan BAK
d.      Mempraktekkan BAB dan BAK dengan baik
SP 4 pasien
a.       Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien (SP 1, SP 2 dan SP 3)
b.       Menjelaskan cara BAB dan BAK yang baik
c.        Melatih BAB dan BAK yang baik
d.       Memasukkan ke dalam jadwal kegiatan harian

a.       Mengetahui kemampuan pasien melakukan latihan sebelumnya.
b.      Untuk mengatasi deficit perawatan diri
c.       Melihat kemauan pasien untuk melakukan kegiatan


Keluarga mampu :
Merawat pasien di rumah
Setelah interaksi 1 x 30 menit keluarga mampu :
a.       Mengungkapkan masalah yang dirasakan dalam merawat pasien
b.      Mengetahui tentang pengertian, tanda dan gejala serta proses terjadinya deficit perawatan diri
c.       Memberikan pujian atas kemampuan keluarga
SP 1 k
a.       Diskusikan masalah yang dirasakan dalam merawat  pasien
b.      Jelaskan tentang pengertian, tanda dan gejala serta proses terjadinya deficit perawatan diri
c.       Jelaskan cara merawat klien dengan deficit perawatan diri
d.      Melatih dan membimbing keluarga cara merawat klien
e.       Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal dan berikan pujian

a.       Mengetahui perasaan keluarga dalam merawat pasien
b.      Memberikan penjelasan tentang penyakit pasien
c.       Melatih keluarga  untuk mengatasi deficit perawatan diri klien
d.      Melihat kemauan keluarga untuk melatih pasien



Setelah interaksi 1 x 30 menit keluarga mampu :
Melatih cara membimbing dan membimbing klien berdandan atau berhias
SP 2 k
a.       Evaluasi kegiatan keluaga dalam membimbing pasien melaksanakan latihan ke 1.
b.      Bersama keluarga melatih membimbing cara berdandan atau berhias
c.       Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal dan berikan pujian

a.       Melihat kemampuan keluarga dalam melatih pasien
b.      Melatih cara mengatasi deficit perawatan diri
c.       Melihat kemauan keluarga untuk melatih pasien



Setelah interaksi 1 x 30 menit keluarga mampu :
Melatih klien makan dan minum dengan baik
SP 3 k
a.       Evaluasi kegitan keluarga dalam membimbing pasien melakukan latihan ke 1 dan ke 2
b.      Bersama keluarga melatih cara membimbing makan dan minum pasien
c.       Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal dan berikan pujian

a.       Melihat kemampuan keluarga dalam melatih pasien
b.      Melatih cara menngatasi deficit perawatan diri
c.       Melihat kemauan keluarga untuk melatih pasien